Dalam rangka memperkuat pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan usaha dan/atau kegiatan industri, Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memperkuat peran Persetujuan Teknis (PERTEK) sebagai syarat teknis dalam pengelolaan emisi dan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). PERTEK kini menjadi instrumen penting yang tidak hanya bersifat administratif, namun juga memiliki implikasi hukum yang signifikan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup.
Landasan Hukum PERTEK
PERTEK merujuk pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di dalamnya, PERTEK dijadikan sebagai dokumen persetujuan teknis yang wajib dimiliki oleh pelaku usaha yang menghasilkan emisi dan/atau limbah B3, sebagai bagian dari upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
PERTEK bukan sekadar dokumen pelengkap, tetapi dokumen substantif yang menjadi dasar terbitnya perizinan berusaha berbasis risiko, seperti Perizinan Berusaha untuk Mengelola Limbah B3 dan emisi. Dalam kerangka OSS-RBA (Online Single Submission – Risk Based Approach), PERTEK menjadi titik krusial dalam integrasi pengendalian lingkungan ke dalam proses perizinan usaha.
PERTEK Emisi: Menakar Risiko dari Udara
PERTEK Emisi dibutuhkan oleh pelaku usaha yang menghasilkan emisi ke udara, baik dari cerobong, kendaraan, maupun aktivitas proses produksi lainnya. Dokumen ini menetapkan parameter teknis, batas emisi, metode pemantauan, hingga rencana pengendalian emisi.
Berdasarkan Permen LHK No. 5 Tahun 2021, PERTEK Emisi harus memuat informasi seperti:
-
Sumber emisi
-
Baku mutu emisi
-
Metode pengendalian
-
Jadwal pemantauan
-
Sanksi dan tindak lanjut
Dengan adanya PERTEK Emisi, pelaku usaha tidak bisa lagi hanya melakukan pelaporan secara normatif, namun harus menjalankan komitmen teknis pengendalian polutan yang diawasi oleh instansi lingkungan hidup baik pusat maupun daerah.
PERTEK Limbah B3: Kendali Ketat atas Potensi Bahaya
Sementara itu, PERTEK Pengelolaan Limbah B3 menyasar pada aktivitas yang menghasilkan, menyimpan, mengangkut, memanfaatkan, dan/atau mengolah limbah bahan berbahaya dan beracun. Limbah B3 yang tidak dikelola secara tepat terbukti menimbulkan risiko signifikan bagi kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan.
Melalui PERTEK ini, setiap pelaku usaha wajib menyusun rencana teknis penanganan limbah yang mencakup:
-
Karakteristik limbah
-
Volume dan sumber limbah
-
Teknologi pengelolaan yang digunakan
-
Jalur distribusi
-
Potensi risiko lingkungan
Dokumen ini juga mempertegas prinsip polluter pays, bahwa setiap penghasil limbah bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaannya sesuai standar teknis dan hukum yang berlaku.
Implikasi Hukum dan Sanksi
Ketidakpatuhan terhadap kewajiban memiliki dan melaksanakan PERTEK dapat berujung pada sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin, pencabutan izin, hingga penutupan usaha. Dalam kasus tertentu, terutama yang menyebabkan kerusakan lingkungan, pelaku dapat dijerat pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 98 sampai 103 UU PPLH No. 32 Tahun 2009.
Lebih lanjut, PERTEK juga berfungsi sebagai dasar evaluasi penegakan hukum lingkungan, di mana tidak dipenuhinya persyaratan teknis dalam PERTEK dapat dijadikan alat bukti dalam proses litigasi lingkungan, baik di pengadilan umum maupun melalui mekanisme ganti rugi administratif.
Tantangan dan Harapan
Meski secara regulatif PERTEK telah memiliki kerangka hukum yang kuat, implementasi di lapangan masih menemui sejumlah tantangan, seperti keterbatasan laboratorium uji, rendahnya pemahaman teknis pelaku usaha, hingga inkonsistensi antar daerah dalam pengawasan.
Namun demikian, PERTEK merupakan langkah penting menuju tata kelola lingkungan yang lebih akuntabel dan berorientasi pada pencegahan kerusakan. Dalam jangka panjang, PERTEK diharapkan tidak hanya menjadi kewajiban legal, namun juga bagian dari standar operasional etis dan profesional bagi setiap pelaku industri di Indonesia.