Dalam sistem hukum lingkungan Indonesia pasca-berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya, telah terjadi transformasi besar dalam tata kelola perizinan lingkungan, termasuk mekanisme pengelolaan air limbah. Salah satu instrumen baru yang diperkenalkan adalah Persetujuan Teknis (Pertek) Pembuangan Air Limbah ke Badan Air Permukaan, sebagai syarat material dalam penerbitan Perizinan Berusaha berbasis Risiko.
Kedudukan Hukum dan Fungsi Pertek
Secara hierarkis, keberadaan Pertek didasarkan pada:
-
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang merupakan lex generalis dalam hukum lingkungan,
-
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khususnya terkait reformasi perizinan lingkungan,
-
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan
-
Peraturan Menteri LHK Nomor 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penerbitan Persetujuan Teknis dan Surat Kelayakan Operasional di Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan.
Dalam konteks hukum administrasi lingkungan, Pertek bukanlah izin, melainkan persetujuan teknis sebagai syarat administratif dan substantif bagi penerbitan Perizinan Berusaha yang mencakup aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Artinya, Pertek harus diperoleh terlebih dahulu, sebelum permohonan perizinan berusaha dapat diproses melalui sistem OSS-RBA (Online Single Submission – Risk Based Approach).
Konstruksi Normatif Pertek Limbah Air
Pertek Limbah Air wajib dimiliki oleh setiap pelaku usaha yang melakukan kegiatan pembuangan air limbah ke badan air permukaan. Substansi Pertek mencakup:
-
Karakteristik air limbah (fisik, kimia, dan biologi),
-
Debit pembuangan,
-
Titik lokasi pembuangan,
-
Teknologi pengolahan (IPAL),
-
Baku mutu air limbah sesuai klasifikasi kegiatan dan sektor usaha.
Proses penilaian dan penerbitan Pertek berada di bawah kewenangan Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK, atau Dinas Lingkungan Hidup Provinsi/Kabupaten sesuai pelimpahan kewenangan berbasis prinsip desentralisasi.
Perlu dicatat, dalam perspektif legalitas administratif, tidak diperbolehkan adanya penerbitan izin lingkungan atau persetujuan lingkungan tanpa terlebih dahulu adanya Pertek yang sah secara hukum. Jika ini dilanggar, maka dokumen izin tersebut cacat hukum dan dapat dibatalkan (revocable) melalui mekanisme pengawasan administratif atau gugatan hukum.
Asas Hukum dan Akibat Hukumnya
Dalam paradigma hukum lingkungan, terdapat asas legalitas, asas kehati-hatian (precautionary principle) dan asas preventif, yang menjadi dasar pembentukan dan pelaksanaan Pertek Limbah Air. Dengan demikian, Pertek adalah manifestasi preventif untuk mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Apabila suatu usaha melakukan kegiatan pembuangan air limbah tanpa memiliki Pertek, maka pelaku usaha dapat dikenakan:
-
Sanksi administratif, berdasarkan Pasal 76 UU PPLH: teguran, paksaan pemerintah, pembekuan, hingga pencabutan izin,
-
Sanksi pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 104 dan Pasal 116 UU PPLH, jika terbukti terjadi pencemaran serius, baik karena kesengajaan maupun kelalaian.
Namun perlu dibedakan: pelanggaran administratif (tidak memiliki Pertek) tidak otomatis menjadi delik pidana, kecuali jika memenuhi unsur terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang diatur secara tegas dalam UU.
Tantangan Implementatif
Secara empiris, pelaksanaan Pertek masih menghadapi sejumlah hambatan, antara lain:
-
Kurangnya pemahaman pelaku usaha terhadap fungsi Pertek,
-
Terbatasnya laboratorium lingkungan terakreditasi untuk uji air limbah,
-
Ketimpangan kapasitas antara pemerintah pusat dan daerah dalam menilai kelayakan teknis.
Oleh karena itu, peningkatan kapasitas teknis, penguatan sistem pengawasan lingkungan, dan pendampingan hukum bagi pelaku UMKM menjadi aspek krusial dalam efektivitas implementasi regulasi ini.
Penutup: Menuju Kepastian Hukum dan Keberlanjutan Lingkungan
Pertek Limbah Air merupakan bagian dari rekonstruksi sistem hukum lingkungan Indonesia yang kini semakin menekankan pendekatan berbasis risiko dan prinsip tata kelola yang baik (good environmental governance). Pelaku usaha dituntut tidak hanya untuk patuh terhadap norma hukum formal, tetapi juga menjunjung etika lingkungan dan tanggung jawab sosial.
Kepatuhan terhadap Pertek bukan sekadar pemenuhan dokumen administratif, melainkan bentuk konkret dari jaminan bahwa setiap kegiatan usaha telah memitigasi risiko lingkungan secara terukur dan terverifikasi.
Dalam konteks negara hukum, kepastian hukum, perlindungan lingkungan, dan kepentingan ekonomi tidak harus saling bertentangan. Sebaliknya, regulasi seperti Pertek hadir sebagai penjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan keberlanjutan.